23/07/02

Banyak Pengusaha Tak Kantongi Izin

Badan Pengendali Penambangan Pasir Dibentuk
Hasyim Afandi SM/pr

MUNGKID - Bupati Magelang Drs H Hasyim Afandi akan membentuk Badan Pengendali Penambangan Pasir Merapi (BP3M). Badan itu akan mengawasi dan mengendalikan penambangan serta mengadakan pembinaan hukum. Keinginan itu dia paparkan di depan Panitia Anggaran APBD Perubahan 2002 DPRD Kabupaten Magelang, Senin (22/7). Personel lembaga itu terdiri atas unsur lembaga swadya masyarakat (LSM), tokoh masyarakat, pemerintah, dan pengusaha.

BP3M untuk menjembatani penyelesaian masalah sekarang dan yang seharusnya di kawasan penambangan pasir Merapi.

Misalnya, banyak pengusaha tak mengantongi surat izin penambangan daerah (SIPD), areal yang ditambang melebihi luas lahan yang diizinkan, kerusakan lingkungan, dan memaksimalkan pajak galian golongan C. Penasihat BP3M adalah Muspida, Ketua DPRD, Ketua Pengadilan, KH Akhmad Jazuli, dan KH Abd Rozzaq. Pengurus harian diketuai Drs Joko Sudibyo MT dari Kantor Pariwisata.

Fungsi BP3M mengawasi dan mengendalikan bidang pertambangan, transportasi dan jalan, serta lingkungan. Juga menertibkan perizinan, membantu mengatasi konflik, mengendalikan pungutan tidak sah, dan menjaga keamanan.

Belum Memiliki

Bupati menilai sekarang banyak penambangan belum memiliki SIPD, penambangan di hutan lindung, teknis penambangan tidak dipatuhi, kurang kepedulian lingkungan, tidak mematuhi aturan hukum.

Masyarakat, LSM, asosiasi, dan pemerintah juga kurang berperan secara proporsional. Di samping itu, reklamasi dan reboisasi belum dilaksanakan, muncul konflik kepentingan, belum ada tindakan law enforcement (penegakan hukum), ada pungutan-pungutan tidak tidak resmi, serta PAD sektor pertambangan belum optimal. Drs M Sofyan, anggota Komisi C, menyatakan setuju keberadaan badan otorita itu untuk menyelamatkan ekosistem dan semua aspek di kawasan penambangan pasir Merapi.

Dia mengingatkan lembaga itu jangan seolah-olah hanya diisi para tokoh dari Kecamatan Srumbung dan Salam. Tokoh dari Kecamatan Sawangan, Dukun, dan Muntilan yang dilalui truk pengangkut pasir hendaknya juga diakomodasi. Dia menyarankan LSM yang dilibatkan sudah berbadan hukum, independen, terutama yang bergerak di bidang lingkungan hidup. Jangan sampai lembaga itu menjadi badan pembina komponen yang sudah ada sekarang.

"Kami khawatir iktikad baik Bupati sulit terwujud," kata Sofyan. Yang jadi pemikiran anggota legsilatif dari Partai Amanat Nasional itu, dana operasional BP3M diambilkan dari mana? (pr-56g)


http://www.suaramerdeka.com/harian/0207/23/dar18.htm




23/05/02

Penambangan Pasir Belum Selesai, Sudah Ada Ide Taman Merapi

Yogyakarta, Kompas - Proses penambangan pasir di beberapa desa Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, terus berlanjut, kendati Bupati Hasyim Afandi sudah mengeluarkan perintah untuk menindak penambang yang tak punya izin. Yang menambah stres, warga yang masih bingung memikirkan lingkungan yang rusak, bertambah pusing memikirkan kawasan tempat tinggalnya yang hendak dijadikan proyek Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM)

Kirjito, tokoh masyarakat Desa Sumber, Kecamatan Dukun, membenarkan hal itu ketika dihubungi Kompas, Rabu (22/5). Setelah ada peraturan dari Bupati Magelang, Badan Perwakilan Desa (BPD), aparat keamanan, dan penambang pasir sempat bertemu, tetapi tidak menghasilkan apa-apa. Justru penambangan makin meluas, katanya.

Siapa pun yang datang di desa sekitar Dukun akan melihat dengan mata kepala sendiri, banyak lahan kosong yang kini tak beraturan. Berlubang-lubang, kalau hujan menjadi kolam.

Kondisi menyedihkan antara lain dialami mBah Semi (65). Nenek tua lima tahun terakhir ini tinggal sendirian karena ditinggal suaminya. Namun, ia juga menjadi manusia yang langka di Desa Sumber. Di lereng Merapi sebelah barat itu, tatkala banyak tetangganya menjual tanahnya untuk ditambang, dicari pasirnya, mBah Semi dengan gigih bertahan.

Kini, tanah di sekelilingnya sudah habis dijual kepada penambang pasir yang memakai back hoe (bego). Tanah mBah Semi yang sebenarnya tak begitu luas itu menjadi kelihatan paling tinggi, tanah itu bagaikan panggung terbuka karena sekitarnya sudah jauh lebih rendah. Bagaimana caranya jika hendak menanami tanahnya? "Kalau perlu saya akan menek (memanjat) tanah saya, pokoknya tak akan saya jual kepada penambang pasir. Tanah itu dulu kami beli dengan cara menabung lama sekali, masak sekarang tiba-tiba mau dijual," katanya.

Belum selesai dengan penambangan pasir yang merusak lingkungan dan kenyamanan hidup, masyarakat lereng Merapi juga diresahkan oleh gagasan pembangunan TNGM.

Susanto dari Grogol, Kecamatan Dukun, mengatakan saat ini baru ada rencana, sudah gentayangan tengkulak tanah yang mau membeli tanah di Babadan. Banyak penduduk juga takut nantinya akan terjadi penggusuran jika TNGM benar-benar dilaksanakan.

Melihat situasi seperti itu, dalam sebuah forum beberapa waktu lalu, Kirjito mengusulkan agar pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah tidak usah buru-buru menyosialisasikan gagasan itu.

"Kita bisa belajar dari para pendiri negara ini. Gagasan untuk merdeka itu sudah digaungkan lama sebelum tahun 1945, tetapi baru terlaksana setelah bertahun-tahun. Jadi, intinya perlu sosialisasi dan persiapan dari masyarakat untuk menerima gagasan itu," katanya. Gagasan untuk membangun TNGM beberapa kali diseminarkan untuk menyatukan persepsi antara birokrat DIY dan Jawa Tengah dan juga antara birokrat dengan masyarakat yang tinggal di sekitar lereng Merapi.

Dari segi kewilayahan, luas TNGM direncanakan 8.472,1 hektar, meliputi 1.791 hektar berada di DIY dan sisanya 6.961 hektar di Jateng. Walaupun lebih banyak berada di Jateng, yang tampak ngotot untuk membangun TNGM justru pemerintah DIY. Dalam satu kesempatan pertemuan, Kepala Dinas Kehutanan Jateng Hektiarto menegaskan, Jateng tak akan buru-buru memutuskannya dan akan mengkaji secara mendalam. Jateng menginginkan kantor TNGM itu nantinya tidak berada di DIY.

Masyarakat sendiri sebenarnya terbelah. Untuk lereng Merapi utara beberapa wakil masyarakat dari Kecamatan Selo menginginkan agar TNGM segera terealisasi untuk mengembangkan daerahnya. Sementara lereng selatan, karena alasan kultural, justru menghendaki Merapi tak usah diubah menjadi macam-macam. Tetap seperti sekarang ini saja. (TOP/NAR/SIG) http://www.kompas.com/kompas-cetak/0205/23/jateng/pena25.htm