30/08/08

Srintil sang Primadona

Srintil Sang Primadona
Kompas Minggu, 31 Agustus 2008 | 01:29 WIB

Kabupaten Temanggung dikenal sebagai penghasil tembakau lauk yang dipakai sebagai pencampur tembakau dengan kualitas di bawahnya. Tembakau Temanggung disebut sebagai tembakau rakyat atau rajangan yang hanya dipakai untuk rokok keretek, bukan untuk rokok putih.

”Kualitas tembakau rakyat di Temanggung termasuk nomor satu di Indonesia,” ujar Sekretaris Asosiasi Petani Tembakau Indonesia Kabupaten Temanggung Wisnu Brata. Oleh karena itu, meski jumlah produksi tembakau tidak banyak—tahun ini Pemerintah Kabupaten Temanggung menargetkan produksi 7.203 ton dari total luas lahan 11.440 hektar (tegal dan sawah)—tembakau Temanggung tetap dibutuhkan.

Temanggung juga menghasilkan jenis tembakau paling seksi dan menjadi primadona, yakni tembakau srintil. Warnanya coklat gelap, becek, berbau harum, kadar nikotin tinggi, biasanya didapat pada akhir masa panen. Ciri-cirinya, daun itu berada di pucuk pohon (masa petik terakhir), berbentuk melengkung hampir keriting, dan susah dirajang. Meski terlihat becek, kadar air tembakau srintil sangat rendah.

Memabukkan

”Srintil ini buat taste rokok. Kalau diisap tidak panas dan rasanya enak, tetapi memabukkan,” ujar Wisnu.

Srintil biasanya muncul di wilayah dengan ketinggian sedikitnya 900 meter di atas permukaan laut. Masa tanamnya panjang, sekitar enam bulan. Kalau ditanam April, September baru ditemui.

Tak sulit mengetahui apakah tembakau itu srintil atau bukan. ”Setelah diperam dua pekan akan tumbuh jamur dan baunya sangat harum. Daun itu susah dirajang karena akan hancur dan bentuknya keruan,” kata Wisnu.

Desa Legoksari, Kecamatan Tembarak, dikenal sebagai daerah penghasil srintil di Temanggung. ”Harga 1 kilogram srintil bisa mencapai Rp 300.000,” ujar Sarokip, Lurah Desa Legoksari, petani dan pedagang tembakau.

Cerita tentang srintil makin seru karena ada bumbu mistiknya. ”Srintil itu jadinya tanpa disengaja, harus ada wahyu dari Atas,” kata Bu Wardi (53), petani asal Desa Tanurejo. Waduh...! (IVV/MH)

Kisah para Juragan tembakau

Di Parakan, para juragan tembakau punya kisah tak kalah heroik. Pada tahun 2000, pasangan Tumari (55) dan Lukito (64) mendirikan toko swalayan SAE, diikuti Waroeng Gazebo, semacam kafe modern dengan menu Barat maupun oriental, dua tahun lalu.

Mereka juga punya usaha penjualan telepon seluler dan pulsa prabayar di beberapa kecamatan di Kabupaten Temanggung, resto waralaba, serta pusat kebugaran yang baru dibuka beberapa bulan terakhir ini.

”Semua dikelola anak-anak,” ujar Tumari, ibu enam anak.

Sebelum melakukan diversifikasi, usaha utama pasangan itu adalah berdagang tembakau, yang dilakukan sejak pernikahan mereka 38 tahun lalu.

Mereka bukan pemilik ladang tembakau, tetapi pedagang yang membeli tembakau dari petani di sejumlah kecamatan di Kabupaten Temanggung untuk dijual lagi ke grader perusahaan rokok Gudang Garam dan Djarum. Dengan tembakau, pasangan itu mampu menyekolahkan enam anak mereka ke Melbourne, Australia.

Selain tembakau, pasangan itu juga berdagang jagung. Setiap hari mereka membeli 100-an ton jagung dari petani dan pengepul di Weleri dan Boja, Kabupaten Kendal, untuk dijual di pabrik pakan ternak di Semarang.

Perubahan

Diversifikasi usaha dipahami beberapa pedagang tembakau sebagai langkah strategis. Dinamika pasar tembakau lumayan bergejolak, sementara ongkos produksi membengkak. Cuaca makin tidak menentu sehingga kualitas tembakau sulit dijaga.

Hal itu pula yang menjadi pertimbangan pasangan Ismail Masech dan Masichah ketika membuka toko busana muslim Al-Azhar saat menangguk untung lumayan dari tembakau pada awal tahun 1980-an. Toko di pusat kota Parakan itu lambat laun justru menjadi penghasil utama ekonomi keluarga dengan tiga anak itu.

Ketika usaha itu semakin maju, Ismail menyerahkan sepenuhnya pengelolaan toko kepada Masichah, yang pada masa mudanya terbiasa berdagang gula dan kelapa. Sementara Ismail tetap berkonsentrasi ke tembakau.

Sejak pertama dibuka, Al-Azhar sudah menjadi semacam trendsetter busana muslim di kota kecil itu. Ketika di Jakarta sedang musim jilbab ala Teh Ninih (istri Aa Gym), ia buru-buru menjual kerudung dengan mode serupa.

Saat ini, misalnya, sedang musim kerudung Munajat Cinta, setelah demam kerudung Ayat-ayat Cinta dan Gelombang Cinta.

”Untung waktu itu saya berani memutuskan buka toko barang- barang yang tidak busuk. Banyak teman saya jatuh karena menyandarkan hidupnya hanya pada dagang tembakau,” kata Ismail. (IVV/MH)


Minggu, 31 Agustus 2008 | 03:00 WIB



Ketika Musim Tembakau Tiba


Sepuluh bulan menahan diri, dua bulan sisanya harus dinikmati. Begitu tradisi tahunan petani tembakau di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Setiap bulan Agustus-September petani dan pedagang tembakau berpesta, mencipratkan rezeki untuk banyak orang.

Kapan petani membayar utang? Kapan ada pertunjukan komidi putar? Kapan pedagang pakaian bekas dan factory outlet memenuhi trotoar? Ya, kala musim panen tembakau.

Kapan orangtua bisa memenuhi janji membelikan sepeda motor anaknya? Ya, suk yen mbakon, besok kalau panen tembakau. Jika tiga bulan kemudian sepeda motor dijual lagi, itu urusan lain.

”Kalau selama 10 bulan orang hanya makan nasi dengan ikan asin, wajar jika punya uang ingin melahap gulai atau tongseng kambing. Kalau 10 bulan ke depan makannya ikan asin lagi, itu soal lain,” kata Ismail, pedagang tembakau asal Parakan yang sejak 1982 bergumul dengan bisnis tembakau.

Dulu waktu listrik belum masuk desa, ada masa para petani membeli berbagai barang elektronik hanya untuk pajangan. Cerita kulkas yang digunakan untuk menyimpan baju bukan kisah rekaan. Setelah musim panen lewat, kulkas pun dijual dan uangnya dipakai membayar utang dan kehidupan sehari-hari.

Wardi (67), petani dari Desa Tanurejo, Parakan, mengibaratkan, ”Orang sini madhang (makan) saja tidak cukup. Harus ada lawuh (lauk). Kalau uang habis, nanti ngutang lagi. Padahal utang itu sampai nglimolasi (15-an) dan ada yang ngewolulasi (18-an),” kata pensiunan guru SD ini.

Maksud Wardi, kalau berutang Rp 1 juta, petani itu harus mengembalikan Rp 1,5 juta dan bahkan Rp 1,8 juta. Kalau tak mau bayar bunga, pemberi pinjaman membeli tembakau si pengutang dengan harga yang ia patok.

Pada masa terakhir kejayaan tembakau, tahun 1995, saat produksi dan harga tembakau tinggi, petani ramai-ramai berangkat haji. ”Saya ingat, ada petani di Katekan (satu desa di Kecamatan Ngadirejo) pergi haji mengajak sanak famili sampai 75 orang sekaligus,” kata Bupati Temanggung Hasyim Affandi.

Tembakau menjadi gantungan hidup 40.168 KK petani di 16 dari 21 kecamatan di Kabupaten Temanggung. Pada musim tembakau tahun ini kemarau relatif panjang, meski beberapa kali hujan turun sangat lebat. Hujan yang terus-menerus mengguyur tanaman tembakau yang telah tua akan mempermuda kembali usia daun sehingga tak bisa dipetik tepat waktu.

Hingga pertengahan Agustus sudah didapat jenis tembakau totol C dan D dengan kisaran harga Rp 30.000-Rp 50.000 per kilogram. Sampai September diharapkan akan didapat totol E sampai I dengan harga lebih tinggi.

”Sampai Lebaran tembakau agaknya belum habis,” kata Wardi yang memiliki 3,5 hektar sawah dan hidup sejahtera dari tembakau.

Tradisi ”mbakon”

Mbakon, yang mencakup semua kegiatan terkait dengan tembakau, sudah menjadi tradisi di Temanggung. Rasanya belum lengkap menjadi warga Temanggung kalau tidak mbakon.

Bulan Maret, benih tembakau mulai ditabur. Musim petik diikuti dengan merajang, menjemur, dan menjual tembakau berlangsung pada Agustus-September, kadang sampai Oktober. Pada bulan-bulan itulah uang dipanen.

Petani sebenarnya bisa menanam kopi sebagai alternatif. Menurut Hasyim Affandi, Temanggung adalah penghasil kopi robusta terbesar di Jawa Tengah dan sangat potensial dikembangkan. ”Namun, masih banyak petani ragu-ragu menanam kopi karena mereka tahunya hanya tembakau,” kata Hasyim.

Para petani menanam pula jagung dan sayur-mayur setelah musim tembakau ”Namun, yang hasilnya jut-jut (jutaan) ya cuma tembakau,” kata Astrifah (30), petani tembakau asal Kecamatan Kledung.

Suaminya, Ribut (35), menimpali, ”Kalau ndak mbakon, lalu apa?” Ia memperkirakan, produksinya tahun ini mencapai 70 keranjang (satu keranjang sekitar 35 kilogram hingga 40 kilogram bersih.

Dengan tembakau, pasangan itu mampu membayar biaya sekolah dua anak mereka. Yang sulung, kelas II SMP, bersekolah sekaligus mondok di pesantren di Kalibeber, Wonosobo. Adapun adiknya kelas II SD.

Setiap panen, Ribut mengalokasikan uang hasil penjualan tembakau ke sejumlah pos: membayar utang ke tengkulak plus bunga 50 persen, membeli beras sebanyak yang mungkin bisa dibeli, dan, ”Bayar sekolah dan pemondokan anak langsung setahun,” ujar Astrifah.

Cipratan rezeki

Penghasilan bersih petani sebenarnya tak lebih dari 30 persen dari hasil seluruh penjualan tembakau. Pada masa tanam sebagian besar petani telah mengutang kepada tengkulak untuk membeli pupuk kandang seharga Rp 700.000 per truk dan pupuk urea seharga Rp 150.000 per kuintal. Untuk satu hektar tanah, dibutuhkan sampai sepuluh truk pupuk kandang dan lebih dari 2 ton pupuk urea.

Begitulah yang terjadi tahun demi tahun. Petani tak merasa ada yang salah dengan mekanisme itu. ”Ya memang sudah begitu dari dulu,” kata Barjono, petani dan makelar tembakau.

Saat masa petik petani harus menyewa sejumlah buruh untuk merajang daun dan menjemurnya. Petani juga harus membeli keranjang seharga Rp 65.000 hingga Rp 120.000 per kepok (dua keranjang disusun jadi satu). Mereka juga wajib memberi iuran uang tumplekan kepada petugas di gudang perusahaan besar rokok di kawasan itu sebesar Rp 25.000 per keranjang.

Mekanisme bertani dan sistem perdagangan tembakau yang berjalan selama ini membuat keuntungan tidak rata menyebar. Data Kabupaten Temanggung menyebutkan, sekitar 33 persen penduduk hidup di bawah garis kemiskinan.

Toh panen tembakau selalu mencipratkan rezeki bagi banyak orang. Sekali mengangkat keranjang ke atas truk dan menurunkannya di gudang, seorang buruh mendapat upah Rp 3.000 per keranjang. Tukang lapis keranjang, seperti Ris Purwoko (43), warga Desa Traji, mengantongi laba Rp 5.000-Rp 10.000 per keranjang.

Penjual ”obat” tembakau pun menangguk untung.

”Itu bubuk untuk membuat tembakau terlihat mengilat. Dibuat dari campuran antara lain gula dan essence buah salak," kata Din (45). Ia bisa mendapat untung Rp 5 juta-Rp 7 juta semusim.

Pemilik toko baju, seperti Masichah, menangguk untung Rp 1 juta-Rp 2 juta per hari, dari Rp 100.000 pada hari biasa. Di sektor jasa pendapatan penghibur di warung remang-remang naik lima kali lipat, mencapai Rp 50.000 per layanan seksual.

Pengadilan agama pun ramai pada musim panen. ”Kalau suami-istri punya masalah dan biasanya cukup cekcok, pada musim tembakau bisa benar-benar bercerai karena bisa membayar ke pengadilan agama,” kata Hasyim Affandi.

Industri terkait dengan tembakau, seperti dikatakan Asisten II Ekonomi dan Pembangunan Kabupaten Temanggung Rahayu Istanto, memberi hidup terhadap tak kurang dari 30 juta orang. Kalau rokok diharamkan, bisa-bisa Temanggung dengan sekitar 700.000 penduduknya akan dicoret dari peta.(Susi Ivvaty & Maria Hartiningsih)
Kompas Minggu, 31 Agustus 2008 | 03:00 WIB