Minimal, ada empat alasan kenapa kita harus mendukung Hasyim Afandi.
Ia mendengar banyak masukan dan kritik, namun tidak lantas larut oleh desakan-desakan, apalagi desakan yang menjurus pada penyalahgunaan kekuasaan. Hasyim memilih mayoritas rakyat,-bukan golongan, elit, maupun partai tertentu sebagai tujuan pengabdian. Mayoritas rakyat adalah tujuan utamanya. Semua kebijakan Hasyim akan selalu diperuntuhkan kepada mayoritas. Ini adalah politik populis, Artinya merakyat.
Namun demikian Hasyim sadar bahwa kebijakan populis tidak selalu baik.
Saat menjadi Bupati Magelang, mayoritas pegawai,-yang karena mentalnya sudah buruk,- kehendak mayoritas pegawai dilawan oleh Hasyim, sebab menurut Hasyim, rata-rata pegawai pikirannya pragmatis dan hanya untuk kepentingan mayoritas mereka. Sikap mayoritas seperti malas-malasan dan bekerja asal-asalan ditentang oleh Hasyim.
Dalam masa awal memang para pegawai merasakan sikap yang terlalu ketat dari seorang Bupati, namun sekarang, para pegawai di magelang sadar bahwa apa yang dilakukan dengan praktek disiplinasi Hasyim ternyata berbuah bagi perbaikan bersama. Etos kerja kepegawaian meningkat, gotong royong berlangsung, dan pemda memiliki wibawa di depan masyarakat karena beberapa program yang dilaksanakan pemda di bawah kepemimpinan Hasyim berdampak baik bagi Rakyat.
Tentu saja pengertian politisi dalam konteks menilai Hasyim tidak demikian, melainkan sebagai sosok yang paham seluk beluk politik melalui pengalamannya berpolitik selama di Partai Golkar, Menjabat Bupati Magelang dan hubungannya dengan berbagai kalangan. Hasyim memang bekas tokoh Golkar di Temanggung dan Magelang, namun ia bukanlah tipikal politisi yang oportunis dan gemar melakukan praktek busuk seperti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Hasyim adalah Hasyim. Sekalipun di lingkungan birokrasi dan partai KKN sudah membudaya, tapi Hasyim tidak pernah terseret limbah busuk tersebut. Di sinilah uniknya seorang Hasyim. Ternyata di tengah-tengah lumpur busuk tersebut kita masih bisa melihat intan berlian yang indah, yang tidak luntur oleh busuknya limbah.
Sebagai seorang politisi, ia paham situasi politik, relasi kekuasaan dan tidak mudah dibujuk atau dirayu. Hasyim sadar di sekitarnya banyak intrik, fitnah dan praktek jilat menjilat. Kesadaran ini membentuk Hasyim untuk menjaga jarak dan berlaku hati-hati agar dirinya tidak masuk kubangan dosa politik. Keberhasilannya memegang prinsip moral inilah yang membuat orang di kalangan partai politik kemudian mengagumi sosok Hasyim.
Satu hal; karena mereka bukanlah cendekiawan. Kebanyakan politisi itu hanya memiliki keunggulan dengan karir selama berorganisasi. Mereka lupa bahwa pengalaman (praktek) tidak akan sempurna tanpa diimbangi oleh intelektualitas. Mereka para politisi cenderung percaya diri bisa memakmurkan dan menyejahterakan rakyat hanya dengan prinsip-prinsip normatif yang mereka pelajari dari omongan-omongan pidato dan khotbah. Ilmu pengetahuan yang didapat dengan cara seperti ini tentu memiliki banyak kelemahan.
Hasyim yang tidak puas hanya belajar petuah dan khotbah, melangkang buana mempelajari banyak ilmu pengetahuan melalui buku. Buku dan kitab-kitab yang Hasyim pelajari sangat banyak. Sejak masa kanak-kanak hingga usia 61 tahun sekarang ini, Hasyim sangat mencintai buku. Ia tipikal kutu buku.
Dari situlah wawasan pemikirannya luas dan memiliki bobot di banding kebanyakan politisi. Hasyim selalu memadukan antara teori dan praktek, antara ilmu dan amal. keduanya dianggap sebagai dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Memang, bagi kebanyakan masyarakat kita hal ini nampak sepele.
Hal ini wajar mengingat masyarakat kita kurang menghargai pemimpin berilmu dan berwawasan dan lebih senang menghargai pemimpin yang vokal, ahli pidato sekalipun miskin ilmu pengetahuan. Namun kalau kita sadar akan kebutuhan pemimpin masa depan, jelas kriteria ini adalah mutlak diperlukan seorang pemimpin.
Sayangnya, di Indonesia, sosok-sosok bermoral biasanya tergusur oleh kekuatan mayoritas politisi yang mengabaikan prinsip ini. Seolah-olah jika sudah masuk ke dunia politik, moralitas dinomor duakan, sedangkan kekuasaan dinomor satukan, bahkan dipertuhankan.
Hasyim memang tidak anti kekuasaan. Yang ia tentang adalah kekuasaan yang melenceng dari moralitas. Karena itu ia selalu menegaskan bahwa ia tidak mau menerima uang suap apalagi korupsi. Sekali lagi, Hasyim hanya bisa menerima kekuasaan jika melalui proses yang bermoral.
Sungguh, ia sosok tiada dua di Temanggung, bahkan sangat langka ditemukan di
Saat Temanggung dilanda krisis kepemimpinan, kehadiran sosok Hasyim adalah berkah bagi kita semua. Kandidat-kandidat lain kebanyakan sudah terjebak pada praktek politik a-moral seperti menjadi tersangka korupsi, terdakwa dan sering melakukan praktek suap. Kalau kita mau jujur, rasanya tidak perlu lagi melirik kandidat lain yang nota-bene memiliki masalah dan secara kualitas kalah jauh disbanding dengan Hasyim Afandi.(zaenal efendi)